Entri yang Diunggulkan

Mengoptimalkan Tridarma Perguruan Tinggi: Pilar Utama Kemajuan Pendidikan Indonesia

 1. Pendidikan dan Pengajaran 

  • Peningkatan kualitas pengajaran di perguruan tinggi. 

Pengajaran di perguruan tinggi merupakan salah satu aspek fundamental dalam mewujudkan tujuan pendidikan tinggi, yaitu mencetak lulusan yang kompeten dan mampu berkontribusi secara signifikan di masyarakat. Kualitas pengajaran perlu ditingkatkan secara terus-menerus melalui berbagai pendekatan, seperti pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, penggunaan teknologi pendidikan, dan pelatihan pedagogis bagi dosen. Kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri dan perkembangan zaman dapat mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan dunia kerja yang semakin kompleks (Widyaningsih, 2020).

Selain itu, integrasi teknologi dalam proses pengajaran, seperti penggunaan Learning Management System (LMS), media interaktif, dan pembelajaran daring, telah terbukti meningkatkan aksesibilitas dan efektivitas belajar. Teknologi memungkinkan dosen untuk menyampaikan materi dengan cara yang lebih menarik dan interaktif, sehingga mendorong partisipasi aktif mahasiswa (Garrison & Vaughan, 2008). Dalam konteks ini, pembelajaran berbasis hybrid atau blended learning menjadi salah satu solusi yang menjanjikan, menggabungkan kekuatan pembelajaran tatap muka dan daring.

Peningkatan kualitas pengajaran juga membutuhkan penguatan kompetensi pedagogis dosen. Pelatihan pedagogis, seperti kemampuan merancang pembelajaran aktif, evaluasi yang adil, dan pembimbingan akademik yang efektif, sangat diperlukan. Dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai materi, tetapi juga mampu menyampaikan ilmu dengan cara yang memotivasi dan memberdayakan mahasiswa (Biggs & Tang, 2011).

Lebih jauh, pengajaran yang berkualitas harus didukung oleh sistem evaluasi yang berkelanjutan. Evaluasi ini mencakup penilaian terhadap metode pengajaran, kepuasan mahasiswa, dan hasil belajar. Data dari evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki strategi pembelajaran dan memastikan pencapaian tujuan pendidikan tinggi (Brookhart, 2013). Dengan demikian, peningkatan kualitas pengajaran di perguruan tinggi tidak hanya menjadi tanggung jawab individu dosen, tetapi juga membutuhkan dukungan institusi dalam bentuk kebijakan dan fasilitas yang memadai.

  • Metode pembelajaran berbasis teknologi.

Metode pembelajaran berbasis teknologi telah menjadi salah satu inovasi penting dalam dunia pendidikan, termasuk di perguruan tinggi. Dengan kemajuan teknologi, pembelajaran tidak lagi terbatas pada ruang kelas tradisional, tetapi juga dapat dilakukan secara daring atau kombinasi keduanya (blended learning). Teknologi memungkinkan penyampaian materi menjadi lebih interaktif dan menarik melalui berbagai media seperti video, simulasi, dan aplikasi pembelajaran (Garrison & Vaughan, 2008). Dalam konteks ini, pembelajaran berbasis teknologi meningkatkan fleksibilitas waktu dan tempat belajar, sehingga mahasiswa dapat belajar sesuai dengan kebutuhan mereka.

Salah satu metode yang paling populer adalah penggunaan Learning Management System (LMS), seperti Moodle, Google Classroom, dan Canvas. LMS membantu dosen dalam mengelola materi, memberikan tugas, dan melakukan penilaian secara terintegrasi. Dengan LMS, mahasiswa juga dapat dengan mudah mengakses materi pembelajaran, mengikuti diskusi daring, serta menerima umpan balik secara real-time (Al-Adwan et al., 2018). Selain itu, penggunaan teknologi berbasis Artificial Intelligence (AI) dalam pembelajaran, seperti chatbots untuk pembelajaran bahasa atau analitik pembelajaran, memungkinkan pengalaman belajar yang lebih personal dan adaptif.

Teknologi juga mendukung pembelajaran kolaboratif melalui platform seperti Microsoft Teams, Zoom, atau Google Meet. Mahasiswa dapat bekerja sama dalam proyek atau diskusi kelompok tanpa harus berada di lokasi yang sama. Hal ini meningkatkan keterampilan kerja tim yang sangat dibutuhkan di dunia kerja (Hrastinski, 2008). Lebih jauh, pengintegrasian augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) memungkinkan pembelajaran yang lebih imersif, terutama untuk bidang studi seperti kedokteran, teknik, atau desain.

Namun, metode pembelajaran berbasis teknologi juga memiliki tantangan, seperti keterbatasan infrastruktur, keterampilan digital dosen dan mahasiswa, serta potensi kesenjangan akses teknologi. Untuk mengatasi masalah ini, institusi pendidikan perlu memberikan pelatihan teknologi bagi dosen dan mahasiswa, serta memastikan ketersediaan fasilitas yang memadai (Anderson, 2004). Dengan pendekatan yang tepat, pembelajaran berbasis teknologi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan di perguruan tinggi.

 

  • Kompetensi dosen dalam mendukung pembelajaran.

Kompetensi dosen merupakan faktor kunci dalam keberhasilan proses pembelajaran di perguruan tinggi. Dosen tidak hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator, motivator, dan mentor bagi mahasiswa. Untuk menjalankan peran ini dengan baik, dosen perlu memiliki empat jenis kompetensi utama: pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian (Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Kompetensi-kompetensi ini menjadi landasan dalam menciptakan lingkungan belajar yang efektif, inovatif, dan inklusif.

Kompetensi pedagogik adalah kemampuan dosen dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Dosen perlu memahami kebutuhan mahasiswa dan menggunakan metode pengajaran yang sesuai, seperti pembelajaran berbasis proyek atau problem-based learning. Selain itu, dosen harus mampu memanfaatkan teknologi pendidikan untuk mendukung proses pembelajaran, terutama dalam era digital saat ini (Biggs & Tang, 2011).

Kompetensi profesional mencakup penguasaan materi yang diajarkan serta perkembangan terbaru dalam bidang ilmu terkait. Dosen yang memiliki kompetensi ini mampu memberikan wawasan yang relevan dan kontekstual kepada mahasiswa. Misalnya, dosen di bidang teknologi informasi harus terus mengikuti perkembangan teknologi terkini untuk memastikan materi pembelajaran tetap up-to-date (Shulman, 1987).

Kompetensi sosial dosen melibatkan kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, dan membangun hubungan positif dengan mahasiswa maupun kolega. Hal ini penting untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan mendukung partisipasi aktif mahasiswa. Sementara itu, kompetensi kepribadian meliputi sikap profesionalisme, integritas, dan kemampuan menjadi teladan bagi mahasiswa (Hadiyanto, 2019).

Untuk meningkatkan kompetensi dosen, perguruan tinggi perlu menyediakan pelatihan yang berkelanjutan, baik dalam bentuk lokakarya, seminar, maupun program pengembangan profesional. Dengan kompetensi yang memadai, dosen dapat mendukung pembelajaran secara maksimal, menciptakan lulusan yang tidak hanya kompeten di bidangnya tetapi juga siap menghadapi tantangan global.

  • Peran mahasiswa dalam proses pembelajaran.

Mahasiswa merupakan subjek utama dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Keberhasilan pembelajaran tidak hanya bergantung pada kemampuan dosen, tetapi juga pada peran aktif mahasiswa dalam menjalankan tanggung jawab mereka sebagai pembelajar. Mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga peserta aktif yang terlibat dalam diskusi, eksplorasi, dan pemecahan masalah. Pendekatan ini sejalan dengan konsep pembelajaran aktif yang menekankan partisipasi mahasiswa dalam proses belajar (Bonwell & Eison, 1991).

Salah satu peran penting mahasiswa adalah sebagai pembelajar mandiri. Mahasiswa diharapkan mampu mengelola waktu, merencanakan kegiatan belajar, dan mencari sumber belajar yang relevan secara mandiri. Dalam era digital, mahasiswa memiliki akses yang luas terhadap sumber informasi, seperti jurnal daring, video pembelajaran, dan kursus online, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pemahaman mereka terhadap materi perkuliahan (Merriam & Bierema, 2013).

Selain itu, mahasiswa juga memiliki peran sebagai kolaborator dalam pembelajaran. Pembelajaran berbasis kolaborasi, seperti diskusi kelompok, proyek bersama, atau simulasi, memungkinkan mahasiswa untuk saling bertukar pengetahuan, meningkatkan keterampilan komunikasi, dan belajar bekerja sama dengan orang lain. Interaksi ini tidak hanya memperkaya pengalaman belajar tetapi juga mempersiapkan mahasiswa untuk bekerja dalam tim di dunia profesional (Johnson & Johnson, 1999).

Peran mahasiswa juga mencakup kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Mahasiswa perlu menganalisis informasi, mengajukan pertanyaan kritis, dan memberikan solusi inovatif terhadap permasalahan yang dihadapi. Hal ini sangat relevan dengan tuntutan dunia kerja yang membutuhkan individu yang mampu berpikir di luar batasan konvensional (Brookfield, 2012).

Agar peran ini dapat dijalankan dengan baik, mahasiswa perlu didukung oleh lingkungan belajar yang kondusif. Dosen dan institusi pendidikan harus menciptakan ruang bagi mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dan mengekspresikan ide-ide mereka. Dengan demikian, peran mahasiswa dalam pembelajaran menjadi bagian integral dari keberhasilan pendidikan tinggi.

2. Penelitian dan Pengembangan

  • Pentingnya penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Penelitian memiliki peran krusial dalam pengembangan ilmu pengetahuan, karena merupakan sarana untuk menemukan, menguji, dan mengembangkan teori serta pengetahuan baru. Melalui penelitian, ilmuwan dan akademisi dapat mengeksplorasi fenomena alam, sosial, dan teknologi, sehingga menciptakan solusi terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat. Penelitian tidak hanya memperluas wawasan manusia, tetapi juga menjadi landasan bagi inovasi yang berdampak pada kemajuan peradaban (Creswell & Creswell, 2018).

Salah satu kontribusi utama penelitian adalah kemampuan untuk memvalidasi dan menyempurnakan teori yang sudah ada. Proses ini penting untuk memastikan bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang seiring dengan waktu. Sebagai contoh, dalam bidang kesehatan, penelitian memungkinkan pengembangan obat-obatan baru, teknik diagnostik, dan metode perawatan yang lebih efektif. Penelitian juga membantu mengungkap hubungan sebab-akibat yang sebelumnya tidak diketahui, yang menjadi dasar bagi formulasi kebijakan publik yang lebih baik (Neuman, 2014).

Selain itu, penelitian menjadi penghubung antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan yang dihasilkan dari penelitian dasar sering kali menjadi cikal bakal inovasi teknologi. Misalnya, penelitian dalam bidang fisika kuantum telah melahirkan teknologi seperti laser dan semikonduktor yang digunakan secara luas dalam berbagai aplikasi, mulai dari telekomunikasi hingga komputasi (Godin, 2006). Dengan demikian, penelitian tidak hanya memperkaya ranah akademik tetapi juga memberikan manfaat praktis bagi kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh, penelitian berperan dalam memecahkan masalah global, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat. Pendekatan berbasis bukti (evidence-based approach) memungkinkan para pengambil keputusan untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan. Dalam hal ini, penelitian berfungsi sebagai kompas yang membantu manusia menghadapi tantangan masa depan dengan strategi yang lebih terarah (Bryman, 2015).

Agar penelitian dapat memberikan dampak maksimal, diperlukan dukungan yang memadai, seperti pendanaan, infrastruktur, dan kolaborasi lintas disiplin. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian harus menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang inklusif, dengan melibatkan peneliti, mahasiswa, dan masyarakat. Dengan cara ini, penelitian tidak hanya menjadi alat untuk memahami dunia, tetapi juga untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

 

  • Kolaborasi penelitian antara perguruan tinggi dan industri.

Kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri merupakan langkah strategis untuk mendorong inovasi, mempercepat transfer teknologi, dan meningkatkan daya saing nasional. Perguruan tinggi, sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, memiliki sumber daya manusia dan fasilitas yang mumpuni untuk melakukan penelitian. Di sisi lain, industri memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan pasar dan kemampuan untuk mengimplementasikan hasil penelitian secara praktis. Kerja sama ini memungkinkan terjadinya sinergi yang saling menguntungkan bagi kedua pihak (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000).

Kolaborasi penelitian dapat menghasilkan inovasi yang relevan dan aplikatif. Perguruan tinggi menyediakan landasan teoritis dan metodologis yang kuat, sementara industri memberikan arah yang lebih spesifik berdasarkan kebutuhan praktis di lapangan. Sebagai contoh, penelitian kolaboratif di bidang teknologi manufaktur dapat menghasilkan proses produksi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dan ekonomis. Hasil ini tidak hanya mendukung pertumbuhan industri, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Perkmann et al., 2013).

Selain itu, kolaborasi ini mempercepat transfer teknologi dari laboratorium ke pasar. Banyak hasil penelitian di perguruan tinggi yang memiliki potensi besar tetapi tidak dapat diimplementasikan tanpa dukungan dari industri. Melalui kemitraan, hasil penelitian dapat dikembangkan menjadi produk komersial yang bernilai tambah. Pendekatan ini juga membantu industri dalam mengatasi tantangan inovasi, sehingga mereka dapat tetap kompetitif di pasar global (Ankrah & Al-Tabbaa, 2015).

Kerja sama ini juga memberikan manfaat langsung bagi perguruan tinggi, seperti peningkatan relevansi penelitian, pendanaan tambahan, dan peluang magang bagi mahasiswa. Sementara itu, bagi industri, kolaborasi ini membuka akses ke talenta muda, hasil penelitian terkini, dan solusi berbasis bukti. Namun, untuk memastikan keberhasilan kolaborasi, diperlukan komunikasi yang efektif, kesepakatan yang jelas mengenai hak kekayaan intelektual, dan komitmen jangka panjang dari kedua pihak (Bruneel et al., 2010).

Dengan pengelolaan yang baik, kolaborasi penelitian antara perguruan tinggi dan industri dapat menjadi pendorong utama inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Kerja sama ini juga memperkuat hubungan antara dunia akademik dan dunia kerja, menciptakan ekosistem penelitian yang lebih dinamis dan berkelanjutan.

 

  • Pendanaan penelitian dan manajemen anggaran.

Pendanaan penelitian merupakan elemen vital dalam mendukung kegiatan ilmiah dan inovasi. Tanpa pendanaan yang memadai, penelitian sulit untuk dilaksanakan secara optimal, karena membutuhkan sumber daya manusia, infrastruktur, dan bahan penelitian. Dalam konteks perguruan tinggi, sumber pendanaan penelitian biasanya berasal dari anggaran pemerintah, hibah dari institusi swasta, atau kolaborasi dengan industri. Pendanaan yang terencana dan berkelanjutan memungkinkan perguruan tinggi untuk menghasilkan penelitian berkualitas tinggi yang berdampak pada pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat (Salter & Martin, 2001).

Manajemen anggaran yang efektif menjadi kunci dalam memastikan pendanaan penelitian digunakan secara efisien dan tepat sasaran. Penelitian biasanya melibatkan berbagai pos pengeluaran, seperti honorarium peneliti, pembelian peralatan, biaya perjalanan, dan publikasi hasil penelitian. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan anggaran yang rinci sejak tahap awal, termasuk penyusunan proposal anggaran yang realistis. Transparansi dalam penggunaan dana juga penting untuk menjaga akuntabilitas dan kepercayaan dari pemberi dana (Dill & van Vught, 2010).

Dalam manajemen anggaran, penggunaan teknologi informasi dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi pengelolaan dana penelitian. Sistem informasi manajemen penelitian (SIM-Riset) memungkinkan pengelolaan dana secara digital, termasuk perencanaan, pemantauan, dan pelaporan. Dengan sistem ini, pelaporan keuangan dapat dilakukan secara real-time, sehingga meminimalkan risiko penyalahgunaan dana dan memastikan penelitian berjalan sesuai rencana (Guthrie et al., 2014).

Selain itu, diversifikasi sumber pendanaan menjadi strategi penting untuk memastikan keberlanjutan penelitian. Perguruan tinggi dan peneliti perlu aktif mencari hibah kompetitif, baik dari lembaga nasional maupun internasional. Kerja sama dengan industri juga dapat membuka peluang pendanaan yang lebih besar melalui proyek-proyek penelitian terapan. Namun, dalam mengelola pendanaan dari berbagai sumber, penting untuk memastikan kesesuaian penggunaan dana dengan tujuan penelitian serta mematuhi aturan dan regulasi yang berlaku (Bozeman & Boardman, 2014).

Dengan pendanaan yang terkelola dengan baik, penelitian dapat berjalan secara optimal, menghasilkan temuan yang signifikan, dan memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan ilmu pengetahuan serta pemecahan masalah global. Pengelolaan anggaran yang efektif juga memperkuat kredibilitas lembaga penelitian dan meningkatkan peluang mendapatkan pendanaan di masa mendatang.

  • Publikasi ilmiah dan dampaknya terhadap reputasi institusi.

Publikasi ilmiah merupakan salah satu indikator penting dalam menilai kinerja akademik sebuah institusi pendidikan tinggi. Melalui publikasi ilmiah, hasil penelitian dapat disebarluaskan ke komunitas ilmiah global, sehingga memperluas dampak dari penemuan tersebut. Artikel yang diterbitkan di jurnal bereputasi internasional tidak hanya mencerminkan kualitas penelitian yang dilakukan oleh peneliti, tetapi juga menjadi tolok ukur prestasi institusi. Reputasi institusi yang kuat sering kali ditentukan oleh jumlah dan kualitas publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh staf akademiknya (Bornmann & Daniel, 2008).

Publikasi ilmiah yang berkualitas meningkatkan visibilitas institusi di tingkat nasional maupun internasional. Artikel yang sering dikutip menunjukkan bahwa penelitian tersebut relevan dan berkontribusi signifikan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, publikasi ilmiah berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat citra institusi sebagai pusat keunggulan akademik. Selain itu, reputasi yang baik dapat meningkatkan daya tarik institusi di mata calon mahasiswa, dosen, dan peneliti dari berbagai belahan dunia (Moed, 2005).

Lebih jauh, reputasi yang ditingkatkan melalui publikasi ilmiah memiliki dampak positif terhadap peluang pendanaan. Lembaga donor dan pemerintah cenderung memberikan prioritas kepada institusi dengan rekam jejak publikasi yang kuat. Hal ini memberikan akses lebih besar terhadap hibah penelitian yang kompetitif, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mendukung penelitian lebih lanjut. Selain itu, reputasi yang baik dapat memperluas jejaring kolaborasi internasional, membuka peluang untuk bekerja sama dengan institusi lain dalam proyek penelitian global (King, 2004).

Namun, kualitas publikasi lebih penting daripada kuantitas. Institusi perlu mendorong peneliti untuk mengutamakan publikasi di jurnal dengan faktor dampak tinggi atau jurnal yang terindeks oleh lembaga internasional seperti Scopus atau Web of Science. Selain itu, institusi juga harus mendukung akses terbuka (open access) untuk memastikan hasil penelitian dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga memberikan dampak sosial yang lebih besar (Björk et al., 2010).

Dengan strategi yang terencana, publikasi ilmiah dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan reputasi institusi pendidikan tinggi. Selain memperkuat posisi institusi dalam komunitas ilmiah global, dampak positifnya juga mencakup peningkatan kualitas pembelajaran, penelitian, dan kontribusi terhadap pembangunan masyarakat.

 Facebook Share on Facebook WhatsApp Share on WhatsApp

Referensi

Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for quality learning at university: What the student does. Open University Press.

Brookhart, S. M. (2013). How to create and use rubrics for formative assessment and grading. ASCD.

Garrison, D. R., & Vaughan, N. D. (2008). Blended learning in higher education: Framework, principles, and guidelines. Jossey-Bass.

Widyaningsih, S. (2020). Inovasi pendidikan tinggi dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Jurnal Pendidikan Indonesia, 9(2), 145-157.

Al-Adwan, A. S., Al-Adwan, A., & Smedley, J. (2018). Exploring students’ acceptance of e-learning using technology acceptance model in Jordanian universities. International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT), 14(1), 131-153.

Anderson, T. (2004). The theory and practice of online learning. Athabasca University Press.

Garrison, D. R., & Vaughan, N. D. (2008). Blended learning in higher education: Framework, principles, and guidelines. Jossey-Bass.

Hrastinski, S. (2008). Asynchronous and synchronous e-learning. Educause Quarterly, 31(4), 51-55.

Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for quality learning at university: What the student does. Open University Press.

Hadiyanto. (2019). Kompetensi dosen sebagai penunjang keberhasilan pembelajaran di perguruan tinggi. Jurnal Pendidikan Indonesia, 8(2), 154-162.

Shulman, L. S. (1987). Knowledge and teaching: Foundations of the new reform. Harvard Educational Review, 57(1), 1-22.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Bonwell, C. C., & Eison, J. A. (1991). Active learning: Creating excitement in the classroom. Jossey-Bass.

Brookfield, S. D. (2012). Teaching for critical thinking: Tools and techniques to help students question their assumptions. Jossey-Bass.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. (1999). Learning together and alone: Cooperative, competitive, and individualistic learning. Allyn & Bacon.

Merriam, S. B., & Bierema, L. L. (2013). Adult learning: Linking theory and practice. Jossey-Bass.

Bryman, A. (2015). Social research methods. Oxford University Press.

Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. Sage Publications.

Godin, B. (2006). The linear model of innovation: The historical construction of an analytical framework. Science, Technology, & Human Values, 31(6), 639-667.

Neuman, W. L. (2014). Social research methods: Qualitative and quantitative approaches. Pearson.

Ankrah, S., & Al-Tabbaa, O. (2015). Universities–industry collaboration: A systematic review. Scandinavian Journal of Management, 31(3), 387-408.

Bruneel, J., D’Este, P., & Salter, A. (2010). Investigating the factors that diminish the barriers to university–industry collaboration. Research Policy, 39(7), 858-868.

Etzkowitz, H., & Leydesdorff, L. (2000). The dynamics of innovation: From National Systems and “Mode 2” to a Triple Helix of university–industry–government relations. Research Policy, 29(2), 109-123.

Perkmann, M., et al. (2013). Academic engagement and commercialisation: A review of the literature on university–industry relations. Research Policy, 42(2), 423-442.

Bozeman, B., & Boardman, P. C. (2014). Research collaboration and team science: A state-of-the-art review and agenda. Springer.

Dill, D. D., & van Vught, F. A. (2010). National innovation and the academic research enterprise: Public policy in global perspective. Johns Hopkins University Press.

Guthrie, J., Parker, L., & Dumay, J. (2014). Publishing, performance, and academia: The visible and the invisible in academic accounting research. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 27(6), 1-24.

Salter, A. J., & Martin, B. R. (2001). The economic benefits of publicly funded basic research: A critical review. Research Policy, 30(3), 509-532.

Björk, B.-C., Welling, P., Laakso, M., Majlender, P., Hedlund, T., & Guðnason, G. (2010). Open access to the scientific journal literature: Situation 2009. PLoS ONE, 5(6), e11273.

Bornmann, L., & Daniel, H.-D. (2008). What do citation counts measure? A review of studies on citing behavior. Journal of Documentation, 64(1), 45-80.

King, D. A. (2004). The scientific impact of nations. Nature, 430(6997), 311-316.

Moed, H. F. (2005). Citation analysis in research evaluation. Springer.


Bersambung Baca ....

Komentar